
Edukasi di Tengah Genosida
06 May 2025 - Berita
Sebelum dimulainya perang di Gaza, Umm Hisham sangat mementingkan pendidikan anak-anaknya. Ia mendaftarkan mereka di sekolah swasta, yakin bahwa mereka akan menerima kualitas pembelajaran yang lebih baik daripada di lembaga pemerintah atau yang dikelola UNRWA.
Harapannya terpusat pada memastikan masa depan akademis yang lebih cerah bagi anak-anaknya, termasuk anak bungsunya, Khaled, yang akan segera memulai kelas satu pada tahun ajaran 2023–2024.
Namun, hanya sebulan setelah tahun ajaran itu dimulai, perang pecah—menghancurkan rencananya dan membuat keluarganya kacau. Lebih dari satu setengah tahun kemudian, Khaled belum menerima pendidikan formal apa pun. Ia seharusnya duduk di kelas tiga, tetapi sebaliknya, ia tetap hampir buta huruf, tidak dapat membaca atau menulis. Situasinya mencerminkan situasi ribuan anak lainnya di Gaza, yang pendidikannya telah sepenuhnya terganggu oleh konflik.
Perang ini tidak hanya menghancurkan bangunan—tetapi juga menghancurkan sistem pendidikan Gaza. Sekolah, universitas, dan pusat pembelajaran dibom. Guru dan siswa terbunuh.
Seluruh institusi telah dihancurkan menjadi puing-puing. Penargetan pendidikan yang disengaja ini, yang dikenal sebagai "educide," merupakan strategi yang lebih luas oleh pendudukan Israel: untuk menghancurkan masyarakat Palestina melalui kelaparan, perampasan medis, dan penghancuran pendidikan.
Tragedi edusida (edukasi di tengah genosida) ini sangat mengejutkan mengingat pencapaian Palestina dalam bidang literasi yang telah berlangsung lama. Sebelum perang, Palestina memiliki salah satu tingkat buta huruf terendah di dunia. Pada tahun 2023, hanya 2,1% penduduk berusia 15 tahun ke atas yang buta huruf. Sebaliknya, tingkat buta huruf di Asia Barat dan Afrika Utara adalah 19% pada tahun 2022, dengan 24,6% di antara perempuan dan 13,7% di antara laki-laki, menurut UNESCO. Secara global, rata-ratanya adalah 13%.
Kisah sukses ini telah berlangsung selama beberapa dekade. Dari tahun 1997 hingga 2023, angka buta huruf di kalangan warga Palestina berusia 15 tahun ke atas turun dari 13,9% menjadi hanya 2,1%. Di kalangan pria, angka buta huruf turun dari 7,8% menjadi 1,1%, dan di kalangan wanita, dari 20,3% menjadi 3,2%. Khususnya di Gaza, angka buta huruf turun dari 13,7% pada tahun 1997 menjadi 1,9% pada tahun 2023.
Namun, semua itu kini terancam. Menurut Kementerian Pendidikan Gaza, lebih dari 12.000 siswa dan 569 staf pendidikan telah tewas, dan lebih dari 20.000 siswa dan 2.700 staf terluka. Kerusakan fisiknya juga parah: 111 sekolah hancur total, 241 rusak parah, dan 85 rusak sebagian. UNRWA melaporkan bahwa 88% sekolahnya mengalami kerusakan, yang berdampak pada sekitar 660.000 anak. Bangunan universitas juga menjadi sasaran—51 hancur, dan 57 rusak.
Meskipun terjadi kekacauan, Kementerian dan UNRWA telah berupaya mempertahankan beberapa bentuk pendidikan melalui kelas tatap muka terbatas dan pembelajaran jarak jauh. Namun, pemadaman listrik, kurangnya akses internet, dan trauma membuat hal ini menjadi sangat sulit.
Sam Rose, Direktur Operasi UNRWA di Gaza, memperingatkan selama gencatan senjata singkat bahwa seluruh generasi terancam. "Pendidikan tidak dapat dinegosiasikan," katanya—mengingatkan dunia bahwa bahkan di tengah perang, hak untuk belajar harus dilindungi.