
Kecaman pada TikTok Usai Rekrut Mantan Tentara Israel untuk Pimpin Kebijakan Ujaran Kebencian di AS
31 Jul 2025 - Berita
Platform media sosial TikTok menuai kecaman luas setelah mengonfirmasi perekrutan Erica Mindel, mantan instruktur militer Israel dan mantan kontraktor Departemen Luar Negeri AS, sebagai kepala kebijakan ujaran kebencian di Amerika Serikat. Jabatan ini mencakup pengawasan konten terkait antisemitisme dan perumusan kebijakan publik yang dapat memengaruhi kerangka legislatif AS.
Penunjukan Mindel segera memicu kontroversi tajam di kalangan advokat kebebasan digital dan pendukung Palestina, yang menilai langkah tersebut sebagai upaya TikTok untuk menyenangkan kelompok lobi pro-Israel dan meredakan tekanan politik dari anggota parlemen AS yang selama ini menuduh platform itu menyebarkan “narasi anti-Israel”.
Latar Belakang Militer dan Hubungan Politik
Erica Mindel diketahui pernah bertugas di unit juru bicara Korps Lapis Baja Angkatan Darat Israel, serta bekerja bersama Deborah Lipstadt, utusan khusus pemerintahan Biden untuk memantau dan memerangi antisemitisme.
Keterlibatannya dalam dua institusi tersebut dinilai memperkuat kekhawatiran bahwa TikTok akan menerapkan kebijakan moderasi yang bias terhadap konten pro-Palestina, di tengah meningkatnya dukungan publik global terhadap rakyat Gaza.
Posisi yang kini dijabat Mindel kabarnya muncul setelah rekomendasi langsung dari Liga Anti-Pencemaran Nama Baik (ADL), dalam sebuah pertemuan tingkat tinggi dengan sejumlah perusahaan media sosial tahun lalu.
ADL menyebut jabatan itu sebagai bagian dari “strategi melawan ujaran kebencian,” namun para pengkritik menilai lembaga tersebut telah lama melabeli advokasi hak-hak Palestina sebagai antisemit, serta bekerja sama dengan lembaga keamanan Israel dalam pelatihan aparat di AS.
Pada tahun 2023, para editor Wikipedia bahkan mengklasifikasikan ADL sebagai sumber yang “umumnya tidak dapat diandalkan” dalam isu Israel-Palestina dan antisemitisme — memperkuat pandangan bahwa organisasi ini lebih politis daripada objektif.
Kekhawatiran akan Sensor Suara Pro-Palestina
Posisi Mindel sebagai “Manajer Kebijakan Publik, Ujaran Kebencian” di TikTok mencakup tanggung jawab untuk menganalisis tren ujaran kebencian, mengatur kebijakan, dan menjalin komunikasi dengan pembuat kebijakan AS. Namun, kelompok hak digital memperingatkan bahwa langkah ini berpotensi mempersempit ruang ekspresi bagi aktivisme pro-Palestina, yang justru tumbuh pesat di TikTok sejak perang di Gaza berlangsung.
Banyak pengguna menuduh TikTok menekan atau menyembunyikan konten yang mendukung perjuangan Palestina demi menghindari risiko diblokir oleh pemerintah AS. Tuduhan itu semakin kuat setelah platform tersebut berulang kali menurunkan visibilitas tagar terkait Gaza dan genosida Israel.
Konteks Politik dan Upaya Pengendalian Narasi
TikTok memang telah lama menjadi sasaran politisi AS, yang mengklaim adanya “risiko keamanan nasional” karena afiliasi perusahaan induknya, ByteDance, dengan Tiongkok. Namun, berbagai laporan bocoran staf Kongres pada awal 2024 mengindikasikan bahwa konten pro-Palestina yang masif di TikTok kemungkinan besar menjadi alasan sesungguhnya di balik desakan pelarangan platform tersebut di AS.
Sebuah RUU yang memaksa TikTok untuk dijual kepada perusahaan Amerika atau menghadapi larangan penuh telah disahkan oleh DPR AS dengan dukungan bipartisan. Meskipun penerapannya sempat tertunda, masa depan TikTok di AS tetap tidak pasti.
Simbol Sensor Digital terhadap Palestina
Bagi banyak pengamat dan aktivis, perekrutan Mindel tidak hanya soal kebijakan internal TikTok, melainkan simbol dari upaya sistematis untuk mengendalikan narasi seputar Israel dan Palestina di dunia digital.
Dengan TikTok sebagai salah satu ruang ekspresi terbesar bagi generasi muda, penempatan seorang mantan tentara Israel di posisi pengambil kebijakan konten dianggap sebagai bentuk sensor struktural terhadap suara rakyat tertindas.
Di tengah penderitaan rakyat Gaza akibat penjajahan, blokade, dan kelaparan yang disengaja, upaya untuk membungkam solidaritas digital dianggap memperpanjang keheningan yang mematikan, menjadikan media sosial bukan sekadar medan informasi, tetapi bagian dari pertempuran narasi dan keberadaan.