Resolusi DK PBB 2803, Mandat Pendukung Kolonial
20 Nov 2025 - Berita
Resolusi Dewan Keamanan PBB yang baru disahkan memicu gelombang kritik karena dianggap mengembalikan pola kolonial lama terhadap Palestina. Resolusi tersebut memberi mandat kepada Pasukan Stabilisasi Internasional (ISF) untuk menggunakan “semua langkah yang diperlukan”, frasa samar yang secara historis memberi legitimasi pada kekuatan militer, kontrol administratif, dan intervensi asing atas wilayah jajahan.
Rencana itu menempatkan Presiden AS Donald Trump sebagai pengawas transisi dua tahun Gaza melalui skema “dewan perdamaian”, bersama teknokrat Palestina terpilih dan kepolisian lokal, namun tanpa legitimasi demokratis dari rakyat Palestina yang saat ini masih hidup di bawah pendudukan, pengepungan, dan penawanan massal.
Sejarawan Avi Shlaim menyebutnya “skema kolonial klasik” cermin dari Mandat Inggris yang seabad lalu merampas Palestina dari penguasaan sendiri. Helena Cobban menegaskan bahwa istilah “mandat” sendiri telah lama dipakai untuk membenarkan dominas asing dengan narasi bahwa penduduk lokal “belum siap” memerintah diri.
Meski resolusi 2803 mengisyaratkan kenegaraan Palestina, hak tersebut dikunci dengan syarat-syarat tidak jelas, yang secara praktis menanggalkan hak dasar rakyat Palestina. Mantan negosiator Israel Daniel Levy menyebut langkah PBB ini sebagai “pelemahan hukum internasional oleh lembaganya sendiri.”
Resolusi itu lolos dengan 13 suara, sementara Rusia dan Tiongkok abstain. Dukungan beberapa negara mayoritas Muslim dipandang sebagai konsekuensi tekanan politik, terlebih karena Otoritas Palestina menyetujui usulan tersebut.
Hamas dan berbagai faksi Palestina menolak resolusi secara tegas, terutama karena tersirat seruan pelucutan senjata perlawanan. Para analis menyoroti ironi: Israel sendiri, setelah dua tahun perang brutal, tidak mampu melenyapkan Hamas, namun DK PBB kini mendorong pasukan asing untuk melakukan tugas yang gagal dicapai rezim pendudukan.
Cobban menegaskan bahwa tidak ada militer regional yang ingin terlibat dalam misi yang sebelumnya gagal diselesaikan Israel. Bahkan gagasan integrasi sayap militer Hamas ke dalam struktur keamanan negara Palestina merdeka masih terlalu jauh dalam konteks kolonial saat ini.
Di lapangan, varian penolakan, basis perlawanan yang tetap kuat, dan ketidakjelasan pengerahan pasukan internasional menjadikan implementasi resolusi ini nyaris mustahil. Namun, simbolismenya jelas: sebuah masa depan Gaza yang diatur PBB tapi dikendalikan AS, sementara suara rakyat Palestina terpinggirkan.
Cobban memperingatkan bahwa keputusan ini adalah pukulan besar bagi kredibilitas PBB.
“Apa yang terjadi di Dewan Keamanan adalah aib yang akan membayangi PBB bertahun-tahun ke depan, jika lembaga itu bisa pulih sama sekali,” ujarnya.