Kekerasan pemukim ilegal Israel terhadap petani Palestina di Tepi Barat yang diduduki mencapai titik paling brutal dalam setidaknya lima tahun terakhir. Dalam tiga minggu pertama Oktober, kelompok pemantau mencatat sedikitnya 126 serangan terhadap petani dan pekerja panen yang beroperasi di bawah ancaman pemukim bersenjata dan perlindungan militer Israel.

Lebih dari 4.000 pohon zaitun, sumber hidup ribuan keluarga, dibakar, dicabut, atau dirusak, memukul lebih dari 70 komunitas Palestina. Angka itu lebih dari dua kali lipat kerusakan tahun lalu. Hanya dalam satu minggu terakhir, 17 warga Palestina terluka dan 60 serangan pemukim dilaporkan, sebagian besar menargetkan pemetik zaitun.

Kelompok HAM seperti B'Tselem dan OCHA menegaskan bahwa kekerasan ini merupakan bagian dari strategi sistematis untuk mengusir warga Palestina dari tanah leluhur mereka. Serangan pun sering terjadi di depan tentara Israel, yang hampir selalu membiarkan kekerasan itu berlangsung.

Sejak agresi Israel ke Gaza pada 2023, Tepi Barat menghadapi lonjakan tajam kekerasan pemukim, termasuk perampasan lahan pertanian dan pendirian pos-pos baru yang bahkan ilegal menurut hukum Israel sendiri.

Petani menyebut bahwa akses ke tanah mereka semakin mustahil.

“Setiap tahun makin buruk,” kata Abu Fadi, petani asal Burin. “Mereka turun dengan senjata dan anjing, membakar pohon kami, menyerang anak-anak kami, dan tentara hanya menonton.”

Musim panen zaitun, urat nadi ekonomi pedesaan Palestina sekaligus simbol identitas dan ikatan historis dengan tanah, kini berubah menjadi musim penuh ancaman. Banyak keluarga terpaksa meninggalkan kebun mereka demi keselamatan.

“Ini bukan soal zaitun saja,” kata seorang pemimpin masyarakat di Salfit. “Ini tentang identitas, warisan, dan hak kami atas tanah ini dan mereka berusaha memutus semuanya.”