
Israel Akan Masukkan Bantuan Terbatas di Tengah Rencana Pengusiran AS-Israel
19 May 2025 - Berita
Setelah lebih dari dua bulan blokade total yang menyebabkan krisis kelaparan di Jalur Gaza, Israel mengumumkan akan mengizinkan dimulainya kembali bantuan kemanusiaan secara terbatas mulai 24 Mei. Namun, keputusan ini memicu kritik tajam karena dinilai sebagai bagian dari strategi pemindahan paksa warga Gaza, bukan langkah nyata untuk meringankan penderitaan sipil.
Keputusan itu diumumkan akhir pekan lalu oleh kabinet keamanan Israel. Bantuan akan dikoordinasikan melalui mekanisme baru yang dikembangkan bersama dengan Amerika Serikat. Kendati demikian, bantuan hanya akan difokuskan ke Gaza selatan—wilayah yang kini menampung mayoritas warga akibat operasi militer Israel yang terus berlangsung di bagian utara.
Seorang pejabat senior Israel kepada The Jerusalem Post menyatakan bahwa pusat distribusi bantuan akan dikelola oleh militer Israel dan perusahaan swasta asal AS, bukan oleh lembaga kemanusiaan independen. Bantuan ini disebut bersifat sementara selama satu minggu, sambil menunggu pembangunan infrastruktur bantuan yang lebih permanen.
Organisasi hak asasi manusia dan badan-badan PBB mengecam keputusan tersebut. Mereka menilai Israel menggunakan kelaparan sebagai senjata perang, yang menurut hukum internasional termasuk dalam kategori kejahatan genosida. Sejak Maret, blokade telah memutus akses terhadap makanan, air, dan obat-obatan bagi 2,5 juta penduduk Gaza, mengakibatkan kematian puluhan orang, termasuk anak-anak.
Media Israel melaporkan bahwa keputusan membuka jalur bantuan diambil di bawah tekanan Amerika Serikat. Namun, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu disebut menghindari pemungutan suara di kabinet dan mengklaim langkah tersebut sebagai keputusan militer yang bertujuan untuk memperluas operasi di Gaza.
Saluran 13 Israel mengonfirmasi bahwa pengiriman bantuan adalah bagian dari rencana militer yang lebih luas, termasuk pembentukan koridor bantuan di bawah kontrol penuh militer Israel tanpa pengawasan independen. Operasi ini disebut sebagai bagian dari misi militer bertajuk "Kereta Perang Gideon."
Kelompok hak asasi manusia menyebut bantuan yang diberikan hanyalah “upaya bertahan hidup yang dikendalikan” dan bukan bantuan kemanusiaan yang sebenarnya. Mereka memperingatkan bahwa strategi ini akan memaksa warga Gaza terkonsentrasi di area sempit dekat perbatasan Mesir, membuka kemungkinan pengusiran massal dan perluasan wilayah oleh Israel.
PBB turut mengecam rencana tersebut, menyatakan bahwa bantuan harus bersifat netral dan tidak boleh dimanipulasi untuk tujuan militer. "Menjebak warga sipil di zona yang dikontrol ketat, lalu mengebom semua yang ada di luar zona tersebut, bukanlah kebijakan kemanusiaan, melainkan taktik militer," kata seorang pejabat PBB.
Organisasi bantuan internasional memperkirakan hanya sekitar 25% penduduk Gaza yang akan menerima manfaat dari bantuan yang dilanjutkan ini, sementara jutaan lainnya tetap dalam ancaman kekurangan kebutuhan dasar di tengah konflik yang terus berlanjut.