Rencana Trump Membangun Real Estat di Gaza Picu Kemarahan Global

Rencana Trump Membangun Real Estat di Gaza Picu Kemarahan Global

05 Mar 2025 - Berita

Gaza, yang telah lama diakui sebagai tanah Palestina, kini menjadi pusat kontroversi yang berkembang menyusul pernyataan mantan Presiden AS Donald Trump, yang menggambarkan wilayah yang dilanda perang itu sebagai real estat utama.

Para kritikus berpendapat bahwa komentarnya, bersama dengan komentar utusan Timur Tengahnya, pengembang real estat miliarder Steve Witkoff, mengungkap rencana yang lebih besar untuk membentuk kembali wilayah tersebut dengan mengorbankan penduduk Palestina.

Witkoff baru-baru ini mengatakan kepada Axios bahwa penduduk yang kembali mendapati Gaza tidak dapat dihuni karena kekurangan air dan listrik. Meskipun pernyataan tersebut tampaknya mengakui situasi kemanusiaan yang mengerikan, banyak yang melihatnya sebagai bagian dari strategi yang lebih luas untuk membersihkan lahan untuk pembangunan kembali.

Trump sendiri telah menyatakan kekagumannya atas "lokasi fenomenal" Gaza dan garis pantai Mediterania, yang memicu kecurigaan bahwa ia membayangkan wilayah tersebut sebagai peluang investasi, bukan tanah air.


Rencana Pemindahan

Para pengamat berpendapat bahwa operasi militer Israel di Gaza, yang telah menghancurkan 70% bangunan di wilayah itu, sejalan dengan visi ini. Tanpa adanya rencana rekonstruksi yang jelas, para kritikus mengatakan penghancuran tersebut justru mendorong warga Palestina keluar alih-alih membangun kembali komunitas mereka.

Trump secara terbuka mengusulkan pemindahan penduduk Gaza ke Mesir atau Yordania. Ketika ditanya apakah negara-negara tersebut dapat ditekan untuk menerima warga Palestina, ia menjawab dengan lugas: “Mereka akan melakukannya. Mereka akan melakukannya. Mereka akan melakukannya.” Pernyataan tersebut telah dikecam secara luas sebagai pemindahan paksa.

Sementara Trump membangun karier politiknya dengan membatasi imigrasi ke AS, para kritikus menyoroti ironi pendekatannya terhadap Palestina—yang menganjurkan pemindahan massal mereka demi agenda yang didorong oleh real estat.

Perubahan ini juga bertentangan dengan “kesepakatan abad ini” sebelumnya, yang, meskipun condong ke kepentingan Israel, secara nominal masih memasukkan Gaza dalam negara Palestina di masa depan.


Visi Sejalan dengan Kaum Ekstrem Kanan Israel

Sikap Trump disukai oleh politisi sayap kanan Israel, termasuk Menteri Keuangan Bezalel Smotrich, yang telah lama mendukung pemindahan paksa warga Palestina. Smotrich baru-baru ini bertemu dengan Witkoff dan memuji pemikirannya yang "di luar kebiasaan"—bahasa yang oleh banyak orang ditafsirkan sebagai kode untuk pembersihan etnis.

Retorika ini bukanlah hal baru. Catatan sejarah menunjukkan bahwa sejak tahun 1967, para pemimpin Israel telah membahas "pengosongan Gaza".

Mantan Perdana Menteri Levi Eshkol pernah menyarankan bahwa merampas air bagi warga Palestina akan memaksa mereka pergi, sementara mantan Menteri Pertahanan Moshe Dayan berpendapat bahwa hanya sebagian kecil penduduk Gaza yang seharusnya diizinkan untuk tetap tinggal.

Saat ini, tokoh-tokoh seperti Smotrich dan Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben Gvir menggaungkan gagasan yang sama, mengemas kembali pemindahan paksa sebagai inisiatif “migrasi sukarela”.


Warga Palestina Menentang Upaya Pengusiran

Meskipun terjadi kerusakan, puluhan ribu warga Palestina telah mulai kembali ke utara ke rumah mereka—meskipun yang tersisa hanyalah puing-puing. Rekaman dari Gaza menunjukkan keluarga-keluarga berjalan di antara puing-puing, bertekad untuk merebut kembali apa yang tersisa.

"Karena saya adalah bagian dari tanah air saya, maka tanah air saya adalah milik saya," kata Nizar Noman, seorang warga yang kembali ke Gaza. "Trump berkhayal karena berpikir bahwa warga Gaza dapat pergi."

Banyak yang menganggap kepulangan mereka sebagai tindakan pembangkangan yang kuat terhadap apa yang mereka yakini sebagai upaya yang diatur untuk menghapus keberadaan Palestina di Gaza.

Tanggapan internasional terhadap komentar Trump sangat cepat. Para kritikus berpendapat bahwa keberpihakannya pada tokoh-tokoh sayap kanan Israel menandai perubahan signifikan dalam kebijakan AS, dengan kekhawatiran bahwa hal itu dapat melegitimasi pemindahan massal warga Palestina.

Saat ketegangan meningkat, satu hal tetap jelas: penduduk Gaza menolak untuk pergi, meskipun kehancuran terjadi di sekitar mereka.


Bagikan

Baca Berita Terbaru Lainnya

Join Us!