Israel Makin Getol Jadikan Kelaparan Sebagai Senjata Membunuh

Israel Makin Getol Jadikan Kelaparan Sebagai Senjata Membunuh

24 Jul 2025 - Berita

Di Gaza, kelaparan tak lagi berbisik, ia menjerit dalam diam. Anak-anak tertidur dengan perut kosong, para ibu merebus air garam dan menyebutnya sup, sementara keluarga-keluarga tumbang di bawah beban kelaparan yang lahir dari blokade Israel dan diperparah oleh ketidakpedulian dunia.

Gambaran Gaza hari ini bukan semata soal perang, tapi tentang hidup yang dikikis perlahan: keputusasaan tanpa suara, kelaparan yang bukan disebabkan oleh kekeringan atau bencana alam, melainkan oleh pengepungan sistematis yang menjadikan makanan sebuah kemewahan, bukan hak.

Saeed Al-Najjar, seorang ayah delapan anak yang mengungsi dari Gaza utara, kini menjalani hari-hari tanpa makan. "Kita tinggal beberapa jam lagi dari titik di mana kami hanya bisa minum air garam," ujarnya. "Tepung sekarang 110 shekel per kilo, dan saya tak punya satu shekel pun."

Ia menyebut para tetangga yang tak lagi bisa berdiri karena lelah dan lapar, para lansia, para ibu, tergeletak di jalanan. Rumah sakit, yang seharusnya menjadi tempat berlindung, kini penuh sesak, tak sanggup lagi menangani gelombang orang yang datang hanya karena ingin bertahan hidup.

Tak jauh dari tempat Saeed tinggal, Rana Jaber punya cara sendiri untuk menenangkan anak-anaknya yang menangis karena lapar. Ia membuat "sup palsu" komposisi air, garam, dan sedikit rempah-rempah. “Saya bilang ke mereka ini makanan,” katanya.

Sudah tiga hari Rana tak makan roti. Perutnya melilit, tidur pun tak bisa. "Saya coba tetap kuat demi anak-anak," ucapnya. "Tapi lapar itu kejam. Ia membuat kita lupa siapa diri kita. Rasanya ingin menangis, tapi air mata pun habis."

Kementerian Kesehatan Gaza memperingatkan bahwa kondisi telah melampaui titik krisis. Unit gawat darurat kebanjiran pasien dengan malnutrisi parah, banyak di antaranya anak-anak yang bahkan terlalu lemah untuk menangis. "Tubuh-tubuh mulai runtuh. Ribuan bisa mati jika ini terus dibiarkan," kata seorang pejabat.

Menurut Kantor Media Pemerintah, 690 orang telah meninggal akibat kelaparan. Di antaranya, 71 adalah anak-anak. Bukan sekadar angka, mereka adalah nama-nama yang tak akan pernah disebut lagi, tawa yang tak akan pernah terdengar kembali.

Salah satu yang masih bertahan adalah Maher Al-Sharafi, pengungsi dari lingkungan Shuja'iyya. Bersama 50 anggota keluarganya, mereka hidup seolah sedang mogok makan. "Kami berpuasa setiap hari, bukan karena pilihan, tapi karena memang tak ada makanan. Kami berbuka hanya dengan sepotong roti, mungkin sesendok lentil. Sebentar lagi, hanya air dan garam. Seperti tahanan," ujarnya.

Kelaparan ini bukan bencana alam. Ini hasil pengepungan total. Akses makanan, air bersih, obat-obatan, dan bahan bakar ditutup rapat. Dunia melihat, tapi diam. Sementara itu, warga Gaza hidup dari belas kasihan, mengais sisa, dan berharap pada kemanusiaan yang kian langka.

Para ibu tak peduli politik. Para ayah tak butuh pidato. Gaza hanya meminta satu hal: bertahan hidup. Pertanyaannya kini bukan lagi apakah Gaza bisa diselamatkan, tapi berapa banyak yang harus mati sebelum dunia akhirnya memilih untuk peduli.

Bagikan

Baca Berita Terbaru Lainnya

Join Us!