Parlemen Israel Akal-akalan Bikin Pemungutan Suara untuk Curi Tepi Barat

Parlemen Israel Akal-akalan Bikin Pemungutan Suara untuk Curi Tepi Barat

25 Jul 2025 - Berita

Parlemen Israel memicu kemarahan luas setelah meloloskan resolusi simbolis yang mendukung aneksasi Tepi Barat yang diduduki. Langkah ini memunculkan kekhawatiran bahwa Israel semakin dekat untuk secara resmi menghapus kemungkinan berdirinya negara Palestina di masa depan.

Dalam pemungutan suara yang digelar Rabu di Knesset, 71 anggota parlemen menyatakan dukungan, sementara hanya 13 yang menolak. Resolusi ini menyerukan “penerapan kedaulatan Israel” atas Tepi Barat, menggunakan istilah Israel: “Yudea, Samaria, dan Lembah Yordan.”

Meski tak mengikat secara hukum, resolusi ini dinilai sebagai upaya terang-terangan pemerintah sayap kanan pimpinan Benjamin Netanyahu untuk menormalisasi ide aneksasi wilayah yang secara luas dianggap ilegal berdasarkan hukum internasional. Bagi banyak pengamat, ini bukan sekadar simbolisme politik, melainkan langkah menuju legalisasi pencaplokan yang lebih luas.

Resolusi ini digagas oleh Bezalel Smotrich, menteri keuangan dari kubu sayap kanan ekstrem yang juga dikenal sebagai pendukung kuat permukiman ilegal. Smotrich memiliki pengaruh besar dalam pengelolaan kebijakan permukiman dan urusan sipil Palestina di Tepi Barat melalui perannya di Kementerian Pertahanan.

Dalam isi resolusinya, parlemen menyatakan bahwa aneksasi akan “memperkuat keamanan Israel dan menegaskan hak bangsa Yahudi atas tanah airnya.” Para analis memperingatkan bahwa meski hanya bersifat deklaratif, mosi ini bisa menjadi landasan bagi legislasi aneksasi formal di masa depan.

Dari pihak Palestina, reaksi keras segera bermunculan. Hussein al-Sheikh, pejabat senior Otoritas Palestina, menyebut pemungutan suara tersebut sebagai "serangan langsung terhadap hak-hak rakyat Palestina" dan ancaman serius terhadap perdamaian. “Tindakan ini jelas-jelas melanggar hukum internasional dan konsensus global mengenai status wilayah Palestina,” tulisnya di platform X.

Kementerian Luar Negeri Palestina juga mengeluarkan pernyataan tegas, menyebut langkah ini sebagai bagian dari strategi jangka panjang Israel untuk memperdalam pendudukan dan menghapus identitas Palestina. Mereka menyamakan mosi tersebut dengan praktik kolonial dan apartheid, merujuk pada pendapat hukum Mahkamah Internasional tahun 2024 yang menyatakan bahwa praktik Israel di Tepi Barat bertentangan dengan hukum internasional.

Bagi warga Palestina, realitas aneksasi bukan hal baru. Sejak pendudukan dimulai pada 1967, lebih dari 500.000 pemukim Israel telah tinggal di Tepi Barat secara ilegal, berdampingan dengan hampir 3 juta warga Palestina. Permukiman terus meluas, terutama sejak perang Gaza meletus pada Oktober 2023. Serangan militer dan kekerasan pemukim terhadap warga Palestina juga meningkat, menyebabkan penggusuran massal dan ratusan kematian.

“Ini bukan simbolisme belaka,” ujar seorang aktivis HAM di Yerusalem. “Ini adalah gambaran nyata dari hidup warga Palestina setiap hari: tanah mereka dirampas, rumah dihancurkan, dan masa depan mereka terus digerus, tanpa ada harapan di ujung jalan.”

Meskipun aneksasi formal sebelumnya selalu menuai kecaman global, pemerintah Israel tampaknya semakin berani, melihat lemahnya reaksi internasional terhadap agresi mereka di Gaza. Dalam konflik tersebut, lebih dari 56.000 warga Palestina telah terbunuh, mayoritas perempuan dan anak-anak.

"Mosi ini mungkin tak punya kekuatan hukum langsung," tulis Kementerian Luar Negeri Palestina, "tapi niatnya sangat jelas. Ini lampu hijau untuk perampasan tanah yang lebih luas, pengusiran yang lebih kejam, dan masa depan tanpa kebebasan bagi rakyat Palestina."

Dengan semakin kaburnya batas-batas yang diakui dunia internasional dan agresivitas pemerintahan sayap kanan Israel yang tak kunjung surut, impian tentang negara Palestina merdeka yang dulunya menjadi tujuan diplomasi global kini tinggal bayang-bayang, sebuah fiksi hukum yang semakin jauh dari kenyataan.

Bagikan

Baca Berita Terbaru Lainnya

Join Us!